Sudan: perang tak kasat mata

(Untuk Guglielmo Maria Barbetta)
05/03/24

Sejak pertengahan April 2023 saja, bentrokan bersenjata di berbagai wilayah Sudan telah menyebabkan lebih dari 13.000 korban dan 10,7 juta pengungsi (1,6 juta pengungsi di negara tetangga dan 9,1 juta pengungsi internal, atau sekitar 13% dari total populasi global).

1 dari 8 pengungsi internal secara global terletak di Sudan: ini adalah krisis kemanusiaan terbesar di dunia dalam hal jumlah pengungsi internal. Namun, bantuan kemanusiaan masih kurang: dari 4,1 miliar dolar yang dibutuhkan, hanya 83,8 juta dolar, atau 3,11%, yang telah dikirimkan.

Konflik

Bentrokan dimulai pada 15 April 2023, ketika Angkatan Bersenjata Sudan al-Burhan (SAF) dan Pasukan Pendukung Cepat Hemedti (RSF) mulai bentrok di ibu kota Khartoum. Sejak saat itu konflik tidak pernah berhenti, malah semakin meningkat dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Meskipun Khartoum adalah pusat konflik, pertempuran juga terjadi di Darfur. Di wilayah ini, RSF (terdiri dari milisi Arab janjaweed, yang sudah bersalah atas kejahatan genosida selama penindasan terhadap pemberontakan minoritas di Darfur antara tahun 2003 dan 2009) melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan yang sedang diselidiki oleh Pengadilan Kriminal Internasional.

Namun konflik di Sudan tidak boleh dilihat hanya sebagai perselisihan internal saja: ada banyak aktor internasional yang terlibat. Misalnya, Arab Saudi dan Mesir secara eksplisit mendukung pasukan SAF sementara UEA dan Rusia (melalui Grup Wagner) mendukung milisi RSF.

Hemedti, dalam hal ini, baru saja menyelesaikan turnya di beberapa negara Afrika (Rwanda, Uganda, Afrika Selatan, Ethiopia, Djibouti dan Kenya), yang tampaknya mendukung milisi.

Uni Afrika dan Amerika Serikat untuk sementara menghentikan mediasi karena keengganan al-Burhan dan Hemedti untuk bekerja sama.

Foto: IOM